Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem
yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and
values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial
(managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan
subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya
tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara
individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik
antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor
yang melatar – belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam
suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja
yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan
organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak
saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang
serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa
“kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja
organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola
konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan
suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau
perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan
oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa
telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik
tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan
bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut
menjadi suatu kenyataan.